Islam di Nusantara Punya Ciri Khas

Ang Rifkiyal

Islam di Nusantara
Islam di Nusantara

Islam di Nusantara memiliki karakter khusus. Ajarannya sama tapi karakternya berbeda. Islamnya sama tapi budaya manusianya berbeda.

Anehkah? Tentu tidak. Karena peradaban islam dari setiap wilayah dan di semua negara memang berbeda-beda. Hal ini tidak lepas dari keragaman kultur dan budaya serta proses islamisasi yang apik di masa lalu.

Para ulama, yang oleh masyarakat muslim di Nusantara lebih akrab disebut Kyai (jawa) atau Ajengan (sunda) di zaman dahulu berjuang membangun tauhid dan menyebarluaskan ajaran agama dengan cara yang halus. Tidak dengan berperang dan bermusuhan. Melainkan dengan dakwah yang ramah tanpa amarah.

Sebelum tauhid membumi di Nusantara, salah satu sesembahan masyarakat nusantara dahulu adalah Hyang, atau roh-roh leluhur yang berkaitan dengan dewa-dewa. Sehingga sembah hyang adalah menyembah hyang. Namun para ulama lantas meluruskan hakikat Dzat yang disembah yakni Allah SWT melalui tuntunan ibadah shalat berdasar syariat tanpa merubah istilah sembahyang yang sudah familiar sebelumnya.

Saat momentum bulan puasa, umat islam di Nusantara memiliki serangkaian tradisi yang mungkin tidak ditemukan di negara lain. Kita mengenal ada istilah papajar dan munggahan. Suatu istilah untuk kegiatan bergembira ria menyambut bulan ramadhan dengan mengadakan berbagai aktifitas. Ada yang mengisi dengan kegiatan ziarah, jalan-jalan, liliwetan, dan lain sebagainya.

Selain itu, saat bulan puasa, ada budaya-budaya lain yang khas di nusantara seperti budaya ngabuburit, bukber, sanlat, membuat kolak, dan masih banyak lagi.

Bahkan pra dan pasca lebaran, ada tradisi mudik dan halal bi halal. Dan ada makanan ketupat lontong hingga tukar makanan antar tetangga.

Hal tersebut adalah serangkaian budaya masyarakat islam di Nusantara yang mengiringi praktek ajaran islam yang universal.

Ngabuburit dan buka puasa bersama adalah budaya, sedangkan ajaran islamnya adalah puasa. Mudik dan ketupat adalah budaya sedangkan ajaran agamanya adalah hari raya idul fitri.

Di nusantara, banyak sekali tradisi khas yang biasa dilakukan. Misalnya ketika seorang perempuan hamil 4 bulan atau 7 bulan, dilaksankan tradisi selamatan. Masyarakat berkumpul untuk sama-sama mendoakan. Digelar pengajian al-Quran dan sholawatan. Digelar pula tawasul dan marhabaan.

Pasca melahirkan, ada lagi tradisi marhaba dan barjanzian. Disediakan makanan-makanan khusus, wewangian dan kembang-kembangan.

Halnya rajaban, maulidan, dan tahun baruan. Masyarakat islam di nusantara kerap menggelar kegiatan yang menghadirkan kebersamaan. Semisal digelar tabligh akbar, kreasi seni, dan tradisi-tradisi lainnya. Dan beberapa praktek yang ada di Nusantara jarang atau bahkan tidak ditemukan di negara lain.

Dalam berbusana, masyarakat islam di Nusantara memiliki karakter khusus. Ketika masayarakat islam di nusantara hendak shalat, maka mereka akan memakai songkok, koko, dan sarung. Karena pakaian tersebut dianggap lebih mewakili islam bagi kebanyakan muslim di nusantara.

Pedahal songkok merupakan tradisi lokal, sedangkan koko pakaian khas dari cina, bahkan sarung dikatakan dipakai oleh masyarakat hindu. Tapi itu sudah menjadi budaya, dan membudaya.

Bersarung, berpeci dan bekoko adalah budaya, sedangkan ajaran islamnya adalah shalat.

Selagi budaya tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariat, atau bahkan malah bisa berkolaborasi semakin menegakkan tauhid, maka budaya tidak dipersoalkan.

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الاصلح
“Menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”

(Ang Rifkiyal)

Bagikan ke: